Di dalam kementrian Agama, TPQ dan Madrasah itu beda kepengurusan. Jadi keduanya adalah beda kedaulatan. Yang satu ada di pendais yg satu ada di bagian madinpondokpesantren. Termasuk hal keuangan pun sebenarnnya berdaulat.
Mengajar TPQ itu sulit, sangat sulit kecuali bagi yang memang otak dan hatinya sudah di cuci dan benar benar sebagian hidup nya ada untuk kegiatan dakwah pendidikan agama. Bagaimana tidak??
Ada penyuluh honorer, di bayar sebulan 250rb tapi ga ada kegiatan TPQ. Bikin TPQ bubar, bikin lagi bubar lagi, bikin lagi bubar lagi. Kegiatan "hampir ga ada". Ini bukti mengajar TPQ sulit.
Ada kasus dimana TPQ dan Madrasah hidup berdampingan. Lalu TPQ menghadapi masalah kekurangan guru. TPQ minta bantuan guru madrasah tapi "tidak bisa". Atau sebenarnyaa bisa, tapi dengan berat hati. Akhirnya dengan terpaksa semua di "serahkan" ke sekolahan karena saking banyakknya anak yang ikut TPQ namun tidak ada yang bisa support.
Kalau kita lihat di sekolah yg lain, seperti MI sambas, SD ump, yang ngajar TPQ itu memang biasanya guru yang lain. Bukan guru sekolahan. Yaa itu, karena ngajar TPQ "berat".
Nah sekarang, TPQ yang "Gemerlap gemebyar" sudah tidak ada, ibarat tubuh, rambut sudah rontok, kulit sudah keriput, jika memang sudah saatnya mati yaa mati saja karena sudah tua. Memang, Terasa ada yang kosong. Terasa ada yang kurang. Ibarat dakwah, maka nilai dakwahnya tinggal 20%. Dari sisi pendidikan mungkin masih ada. Biarlah SK pendirian TPQ yang sudah resmi dari kemenag menjadi tidak dipakai mungkin juga akan hilang.
Sekarang, masuklah TPQ ke dalam jam sekolah. Semua anak dapat tambahan 1 jam untuk pulang. Jadi pulangnnya mulur 1 jam. Anak kelas 1 yang biasa pulang jam 11.00 jadi pulang jam 12.00.
Dalam kenyataannya membah jam, tidaklah semudah itu dalam pelaksanaannya. Menambah 1 jam pelajaran berarti memeras tenaga, hati, dan jiwa. Guru sering kelelahan setiap pulang di rumah, khususnya saya yang jarak nya sekitar 25 km kalau harus pulang ketemu anak. Bagi anak bagaimana?? Sepertinyaa juga sama. Tatapan "kelelahan" sangat terlihat dari sorot matanya.
Bagi saya pribadi setiap akhir jam pelajaran siang hari adalah seperti nguleg sambel tapi tangannya habis di pakai bikin adukan semen. Apalagi kalau pagi harinyaa anak anak habis olah raga. Totalitas benar benar memeras tenaga. Jam terakhir, Anaknya ramai karena lelah, gurunya juga "blank" karena lelah.
Bukan cuma itu, anak anak pun akhirnya di ajari "korupsi waktu". Sekali dua kali tiga kali dalam seminggu pasti anak anak pulangnnya lebih cepat setengah jam dari waktu asli. Akhirnya " korupsi waktu" yang diduga hanya di lakukan oleh guru menular pada anak didiknyaa..
Sekarang mungkin kedepannya akan membangun lagi TPQ tapi khusus remaja. Demi menjaga api dakwah tetap menyala. Untuk menghilangkan perasaan yang mengganggu. Untuk melupakan sedikit kekecewaan bahwa ada hak- hak kelembagaan yang pernah "tidak dihormati".
'Ada Tiga hal yang tidak pernah bisa untuk di sembunyikan, yaitu : Matahari , bulan , dan yang terakhir adalah kebenaran'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar